Selasa, 07 Januari 2014

Makalah FPI_Potensi Manusia



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sebagai seorang calon pendidik yang kelak dituntut untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi dasar peserta didik serta kecenderungan-kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sesuai dengan kemampuan dan bakat yang ada, penting bagi kita mengetahui tentang potensi-potensi dasar yang dimiliki manusia secara umum karena manusia memiliki posisi yang sentral didalam dunia pendidikan. Tidak hanya sebagai subyek akan tetapi juga sebagai obyek dari pendidikan itu sendiri. Untuk itu, dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan sedikit pembahasan tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia serta konsep dalam pengembangannya ditinjau dari kacamata filsafat pendidikan Islam.

B.  Rumusan Masalah

1)      Bagaimana tinjauan filosufis tentang potensi-potensi manusia dan konsep pengembangannya dalam pendidikan islam ?
2)      Bagaimana kedudukan manusia dalam pandangan filsafat pendidikan islam ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Potensi-Potensi Manusia dan Konsep Pengembangannya dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
Samsul Nizal dalam bukunya mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosufis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal fikiran.[1]
Menurut Amir Daien Indrakusuma yang dikutip oleh Abdul Aziz bahwa sebenarnya manusia hidup itu mempunyai beberapa macam hakikat yang salah satunya manusia itu mempunyai hakikat sebagai makhluk dwi tunggal. Yaitu manusia itu terdiri dari dua unsur, yaitu rohaniah dan jasmaniah. Unsur halus dan unsur kasar, badan halus dan badan wadaq, unsur jiwa dan unsur raga. Dari kedua unsur tersebut, terbagi lagi atas segi-segi atau aspek-aspek kejiwaan. Adapun aspek-aspek kejiwaan yang penting diantaranya ; aspek moral dan sosial, aspek intelektual, aspek estetis, dan aspek religius.[2]  
Selanjutnya menurut Abdul Aziz, dalam diskursus pendidikan Islam, pemahaman terhadap eksistensi manusia sebagai subyek sekaligus sebagai obyek pendidikan harus dapat terpahami secara tepat, sebab kalau pemahamannya salah akan mengakibatkan kurang tepatnya operasional pendidikan. Penyimpangan pendidikan seperti adanya perlakuan yang salah terhadap anak didik, tidak terlepas dari kesalahpahaman dalam memandang hakikat onlotogis manusia yang akan dididik. [3]
Sedangkan menurut Maragustam, konsep pendidikan harus mengandalkan pemahaman mengenai siapa senyatanya manusia itu. Konsep pendidikan Islam misalnya, tidak akan dapat dipahami sepenuhnya sebelum memahami penafsiran Islam tentang pengembangan individu dan sosok manusia sepenuhnya. Pentingnya memotret manusia sebagai titik sentral dari teori dan praktik pendidikan merupakan hal yang vital, karena manusia merupakan unsur yang penting dalam setiap usaha pendidikan. Maka dari itu, tanpa tanggapan dan sikap yang jelas mengenai manusia, pendidikan akan meraba-raba tanpa arah.[4]
Tuhan menciptakan manusia terdiri dari unsur ruh dan jasad. Proses penciptaannyapun rumit sebanding dengan jati dirinya yang unik dan penuh misteri dan tak terduga (garaib wa ‘ajaib). Ruh dan jasad adalah dua unsur yang tidak bisa dipisah satu sama lain dan keduanya merupakan satu kesatuan dan saling menyempurnakan dalam pembentukan yang namanya manusia.[5] Perangkat pembentukan zat insaniyah (jati diri manusia) dan menunjuk kepada potensi-potensinya, Alquran menggunakan beberapa terma, diantaranya: insan, basyar, al-jism, ‘aql, qalb, nafs,dan fitrah. Semua terma tersebut sebagai pembentuk yang namanya manusia dan terma-terma tersebut satu sama lain tidak bisa dipisahkan.[6]

1.    Terma Insan
Kata insan  berasal dari kata anasa, nasiya, al-uns / anisa. Menurut Musa Asy’ari, kata insan yang bentuk jamaknya al-nas dari segi semantik (ilmu tentang akar kata) dapat dilihat dari asal kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin. Atas dasar ini kata tersebut mengandung kata petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia, dengan kaitan penalarannya itu manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, dan terdorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.[7]
Menurut Maragustam jika kata insan berasal dari kata nasiya menunjukkan bahwa sifat yang melekat dalam diri manusia berbuat “salah” dan “lupa”. Perbedaan seseorang dengan yang lainnya bukan terletak pada salah dan lupa, tetapi terletak pada sejauh mana manusia menyadari kesalahan dan kelupaannya, lalu kedepan berusaha memperbaiki diri terus menerus agar menyedikitkan berbuat salah dan lupa. Disini pendidikan berfungsi membelajarkan kepada manusia agar mengasah intelektual dan kalbu agar secara terus menerus keluar dari kesalahan menuju ke perbaikan kualitas hidup. Insan dari kata al-uns/anisa berarti “jinak” yang menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang jinak, berbudaya, dan dapat dididik serta dapat beradaptasi dengan lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.


2.    Terma Basyar
Menurut Samsul Nizal bahwa makna etimologis basyar dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Firman Allah SWT:
قُلْ إِنَّمَا اَنْا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوْ حَيْ اِلَيَّ ...( الكهف : .11 )
Artinya: katakanlah : “Sesungguhnya aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku...” (QS Al-Kahfi : 110)
Dengan demikian, kata basyar selalu mengacu kepada manusia dari aspek lahiriyahnya, mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang ada dalam alam ini dan oleh pertambahan usianya, kondisi tubuhnya akan menurun menjadi tua dan akhirnya ajalpun akn menjemputnya.[8]

3.    Terma ‘Aql
Akal adalah salah satu aspek penting dalam hakikat manusia. Ini dijelaskan dalam banyak tempat didalam al-qur’an. Akal adalah alat untuk berfikir. Jadi, salah satu hakikat manusia ialah ia ingin, ia mampu, dan ia berfikir. Kata ‘aql (akal) dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat dan penghalang. Al-Qur’an menggunakannya bagi “sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa”.[9]

Sebaiknya untuk potensi akal, upaya pendidikan islam dalam mengembangkan potensi akliah adalah sebagai berikut:
a)    Membawa dan mengajak anak didik untuk menguak hukum-hukum alam dengan dasar suatu teori dan hipotesis-ilmiah melalui kekuatan akal pikiran.
b)   Mengajar anak didik untuk memikirkan ciptaan Allah sehingga memperoleh konklusi bahwa alam diciptakan dengan tidak sia-sia (Q.S 3:190-191).
c)    Mengenalkan anak pada materi logika, filsafat, matematika, kimia, fisika, serta materi-materi yang dapat menumbuhkan daya kreativitas dan produktivitas daya nalar.
d)   Memberikan ilmu pengetahuan menurut kadar kemampuan akalnya, dengan cara memberikan materi yang lebih mudah dahulu lalu beranjak pada materi yang sulit, dari yang konkret menuju abstrak.
e)    Melandasi pengtahuan akliah dengan jiwa agama (wahyu), dalam arti anak didik dibiasakan untuk menggunakan kemampuan akalnya semaksimal mungkin sebagai upaya ijtihad, dan bila ternyata akal belum mampu memberikan konklusi tentang suatu masalah, masalah tersebut dikembalikan kepada wahyu (Q.S.4:59)
f)    Mencetak anak didik menjadi orang yang berpredikat “Ulil Albab” yaitu seorang Muslim cendekiawan dan Muslim intelektual dengan cara melatih daya pikir, dan daya nalar.[10]


4.    Terma Qalb
Kata Qalb terambil dari akar kata yang bermakna membalik karena seringkali ia berbolak-balik. Kalbu amat berpotensi untuk tidak konsisten. Kalbu berasal dari bahasa arab yang akar katanya adalah kata kerja qalaba  yang artinya membalik. Membalikkan yang atas dibawah, atau yang menjadikan yang dalam diluar atau membalikkan senang menjadi susah, cinta menjadi benci yang semuanya itu merupakan esensi dari pengertian kalbu.[11] Untuk itu Nabi SAW bersabda:
اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلْإِثْمِ مَا حَاكَ فِيْ النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِيْ الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ
(minta fatwalah kepada kedalaman kalbumu/jiwamu, Nabi mengucapkannya tiga kali. Kebaikan itu ialah yang menenteramkan jiwa/kalbu dan dosa itu ialah sesuatu yang menyusahkan jiwa/kalbu dan kebimbangan didada. Jika manusia meminta fatwa kepadamu, suruhlah ia agar meminta fatwa kepada ke kedalaman kalbu/jiwa) [12]
Ada hubungan timbal balik antara kalbu dan perilaku. Bila seseorang memiliki kalbu yang baik maka ia akan cenderung berbuat baik lebih besar. Dengan demikian kalbu merupakan tempat bersemayam iman, pusat kesadaran moral, alat memperoleh ilmu (pusat pendidikan dan pengajaran).
Allah memberikan potensi qolb yang mempunyai kecenderungan serba halus dan mulia. Upaya pendidikan untuk memberdayakan potensi qolb adalah :
a)    Tehnik pendidikan diarahkan agar menyentuh dan merasuk dalam kalbu dan dapat memberikan bekas yang positif, misalnya dengan cara yang lazim di lakukan oleh Rosululloh SAW dalam berdakwah, yang di dalam dirinya tercermin sifat lemah lembut, penuh kasih sayang dan tidak kasar (Q.S. 3:159).
b)   Bentuk pendidikan Islam diarahkan pada pengembangan daya pikir dan daya dzikir (Q.S:190,191).
c)    Aspek moralitas dalam pendidikan Islam tetap di kembangkan karena aspek ini dapat menyuburkan perkembangan qolb. Dengan demikian akan terbentuk suatu tingkah laku yang baik bagi anak sebagaimana yang di contohkan oleh Rosululloh SAW (Q.S. 33:21).[13]

5.    Terma Nafs
Secara umum kata nafs yang berkaitan dengan manusia menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk. Sekalipun informasi dari al-qur’an bahwa nafs berpotensi untuk positif dan berpotensi untuk negatif, namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lenih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya (QS.al-syam : 9-10).[14]
Untuk potensi nafsu, upaya pendidikan islam dapat diarahkan pada :
a)    Mengembangkan nafsu anak didik pada aktivitas yang positif, misalnya nafsu agresif, yaitu dengan memberikan sejumlah tugas harian yang dapat menyibukkan nafsu tersebut, sehingga nafsu itu tidak memperoleh kesempatan untuk berbuat yang tidak berguna.
b)   Menanamkan rasa keimanan yang kokoh dan kuat, sehinggga dimanapun berada, anak didik tetap menjaga diri dari perbuatan abnormal atau asusila.
c)    Menghindarkan pendidikan yang becorak materialistis karena nafsu mempunyai kecenderungan serba kenikmatan tanpa mempertimbangkan potensi lainnya. Dengan demikian, dalam diri anak didik terbentuk dengan sendirinya sutu kepribadian yang Islami, atau setidak-tidaknya dapat mengurangi dorongan nafsu serakahnya.[15]
6.    Terma Fitrah
Diantara potensi manusia yang terdapat dalam al-qur’an ialah fitrah. Dari segi bahasa kata fitrah terambil dari akar kata al-fatr yang bentuk pluralnya fitar yang berarti cara penciptaan, sifat pembawaan sejak lahir, sifat watak manusia, agama dan sunnah. Dapat dijelaskan bahwa fitrah adalah sistem aturan atau potensi yang diciptakan kepada setiap makhluk sejak keberadaannya baik ia makhluk manusia ataupun yang lainnya. Seperti bawaan dasar manusia cenderung kepada agama tauhid, kebenaran, keadilan, wanita, harta, benda, anak, dan lain-lain.[16]

B.   Kedudukan Manusia dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
Dalam berbagai literatur yang membahas mengenai kedudukan manusia
dalam alam semesta ini selalu dihubungkan dengan konsep kekhalifahan
manusia di bumi dan konsep ibadah.
Menurut Zuhairini, ada beberapa kedudukan yang dimiliki dan ditanggung manusia. Antara lain:
1)   Sebagai pemanfaat dan penjaga kelestarian alam sesuai QS. Al-jum’at: 10.
2)   Sebagai peneliti alam dan dirinya untuk mencari Tuhan sesuai dengan QS. Al-baqarah : 164
3)   Sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi sesuai dengan QS. Al-an’am : 165
4)   Sebagai makhluk yang paling tiggi dan paling mulia sesuai QS at-tin : 4
5)   Sebagai hamba Allah sesuai dengan QS ali imran : 83
6)   Sebagai makhluk yang bertanggung jawab sesuai dengan QS at-takatsur : 8
7)   Sebagai makhluk yang dapat dididik dan dididik sesuai QS al-baqarah : 31.[17]
Sedangkan menurut Samsul Nizal bahwa secara global kedudukan manusia di muka bumi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu sebagai khalifah dan sebagai ‘Abd.[18]
1)   Khalifah
Alqur’an menegakkan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai pengemban amanat (QS ar ruum: 72). Salah satu implikasi terpenting dari kekhalifahan manusia di muka bumi ini adalah pentingnya kemampuan untuk memahami alam semesta tempat ia hidup dan menjalankan tugasnya. Karenanya, merupakan tanggung jawab moral menusia untuk mengolah dan memanfaatkan seluruh sumber-sumber yang tersedia di alam ini guna memenuhi keperluan hidupnya. Manusia diharapkan mampu mempertahankan martabatya sebagai khalifah Allah yang hanya tunduk kepada-Nya dan tidak akan tunduk kepada alam semesta. Konsep ini bermakna bahwa orientasi hidup seoang muslim hanyalah semata-mata ditujukan kepada Allah SWT Tuhan seru sekalian alam.[19]
2)   ‘Abd (Pengabdi Allah SWT)
Konsep ‘abd mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk pengabdian ritual kepada Allah SWT (QS adz Dzaaariyat: 56) dengan penuh keikhlasan. Secara luas, konep ‘abd sebenarnya meliputi seluruh aktifitas manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan bahwa seluruh aktifitas seorang hamba selama ia hidup dialam semesta ini dapat dinilai sebagai ibadah manakala aktifitas itu memang ditujukan semata-mata hanya untuk mencari ridha Allah SWT. Semua aktifitas seorang hamba dalam seluruh dimensi kehidupan adalah ibadah manakala itu benar-benar dilakukan untuk mencari ridha Allah semata. Pada dasarnya konsep ini merupakan makna sesungguhnya ibadah manakala difahami, dihayati dan diamalkan, maka seorang muslim akan menemukan jati dirinya sebagai insan paripurna (al-insan al-kamil).[20]
Agar manusia mampu melaksanakan tugas dan fungsi penciptaannya, maka manusia dibekali Allah SWT dengan berbagai potensi atau kemampuan. Potensi atau kemampuan ini disebut sebagai sifat-sifat Tuhan yang tersimpul dalam al-qur’an dengan nama-nama yang indah. Dalam falsafah Islam, sifat-sifat Tuhan hanya dapat diberikan kepada manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas, sebab kalau tidak demikian manusia akan mengakui dirinya sebagai Tuhan. Dalam konteks ini, manusia harus memahami bahwa sifat-sifat itu diberikan Tuhan adalah sebagai amanah, yaitu tanggung jawa yang besar yang pada suatu saat akan dimintai pertanggung jawaban dihadapan Allah SWT. Untuk itu, manusia harus mendayagunakan potensi yang dianugerahkan kepadanya secara bertanggung jawab dalam rangka merealisasikan tujuan dan fungsi penciptaannya di alam ini, baik sebagai ‘abd maupun khalifah fil ardl.[21]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Konsep pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami sepenuhnya sebelum memahami penafsiran Islam tentang pengembangan individu dan sosok manusia sepenuhnya. Pentingnya memotret manusia sebagai titik sentral dari teori dan praktik pendidikan merupakan hal yang vital, karena manusia merupakan unsur yang penting dalam setiap usaha pendidikan.
Manusia terdiri dari unsur materi yakni fisik, basyar dan immateri (insan, akal, kalbu, ruh, nafs, fitrah). Dengan keadaannya yang demikian, manusia adalah makhluk yang dimuliakan, diberi amanah taklif (pembebanan), berfungsi ‘ubudiyah dan khalifah (co creator), makhluk mukhayyar (kebebasan memilih), makhluk yang bertanggung jawab dan diberi daya yang penuh keajaiban (‘ajaib) dan misteri (garaib) serta diberi peluang untuk mencapai kemajuan.


DAFTAR PUSTAKA

Nizal, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers. 2002
Maragustam. Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Filsafat Pendidikan Islam). Yogyakarta: Nuh Litera. 2010
Aziz, Abdul. Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam.Yogyakarta: Teras. 2009
Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru). Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005
Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004
Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2006


[1] Samsul Nizal, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 1.
[2] Abdul Aziz, Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 31.
[3] Ibid, h. 35.
[4] Maragustam, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Filsafat Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Nuh Litera, 2010), h. 58-59.
[5] Ibid, h. 59.
[6] Ibid, h. 62.
[7] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 81.
[8] Ibid, h. 83.
[9] Ahmad Tafsir, Ffilsafat Pendidikan Islam integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), h. 17.
[10] Abdul Aziz, Filsafat, h. 53-54
[11] Maragustam, Filsafat, h. 70
[12] Ibid, h. 71-72
[13]  Abdul Aziz, Filsafat, h. 52-53
[14] Maragustam, Filsafat, h. 73  
[15] Abdul Aziz, Filsafat, h. 54
[16] Maragustam, Filsafat, h. 74-75
[17] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara: 2004), h. 85-91
[18] Samsul Nizal, Filsafat, h. 17.
[19] Ibid, h. 17-18
[20] Ibid, h. 19-20
[21] Ibid, h. 20-21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar